Prangko · Desember 10, 2013 2

Surat Pengantar Rindu

Teruntuk penghuni ruang belakang……


Apa kabar?
Fajar belum beranjak dari tempat persinggahan. Ia masih senang menyongsong pagi ini dengan lembut. Bagaimana denganmu? Masihkah berkutat dengan perjuangan?

Ini adalah Desember yang kaku bagiku. Jelas jauh artinya dengan banyaknya sesuatu yang kau dapat dan lakukan selama ini. Aku malu pada diriku. Aku juga malu jika nanti kita bertemu. Aku merasa seperti seekor semut yang sangat kecil. Sedang dirimu? Aku tahu kau akan dengan gagahnya tersipu. Karena semua mengagumimu….

Tapi aku tak mau melewati waktu yang tidak lama lagi akan datang menyapa. Melewati waktu yang sudah lama kutunggu rasanya hal yang bodoh. Hmm… Seharusnya, menunggumu datang adalah sebuah perasaan yang mestinya dapat terlewati. Hanya saja jalan ini terlalu susah untuk membuat aku menjadi alpa. Padahal sudah sekeras mungkin aku cuci imajiku agar setidaknya namamu tak sering  muncul disini. Tapi tetap saja wangimu masih terasa.
Sekeras-kerasnya aku mencoba membuat sesuatu itu biar pergi berlalu, sekeras itu juga syaitan membisikiku akan halnya dirimu. Huft, rasanya ini menyebalkan 🙁
Otakku terpaku pada yang seharusnya tak aku pikirkan.


Tapi aku ingin, ingin sekali melihatmu. Meski itu dari jarak yang sangat jauh…..

Aku harus menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Ya Tuhan, berat sekali melakukannya….. Sungguh berat, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik.” — Tere Liye, novel ‘Sunset Bersama Rosie’


Serang, 10 Desember 2013.