Karya · Maret 11, 2015 18

Namaku Embun

Sumber gambar

Namaku Embun. Aku ini lahir dari ketiadaan. Sejak kecil aku tak punya Ayah. Membayangkan rupanya seperti apa saja aku tidak bisa. Tapi, suatu hari Ibu memperlihatkan satu foto lamanya bersama dengan Ayah. Sejak saat itu, aku tahu yang namanya Ayah itu seperti apa. Aku sudah tidak pernah menerka-nerka lagi.

Aku punya Ibu yang sederhana. Hidupnya berjalan mengalir seperti air kali di dekat rumahku. Ibu tidak banyak bicara. Tidak pula pernah bermimpi yang macam-macam. Aku bisa hidup dengan sehat pun sepertinya Ibu sudah senang. Ibu tidak pernah menyuruhku menjadi orang hebat, sekalipun ia ingin. Ibu selalu menyuruhku menjadi diriku sendiri. Sederhana saja keinginannya. Sebab, katanya, menjadi diri sendiri adalah kepuasan paling sempurna di hidup kita. Barangkali, mungkin Ibu tidak ingin aku menyiksa diri untuk terkungkung pada hal yang memang β€˜bukan aku’. Ibu tidak pernah memaksa. Tapi bukan berarti Ibu tidak ingin aku jadi apa-apa. Kan setiap Ibu pasti menginginkan kesuksesan dari anaknya. Tidak ada toh, Ibu yang ingin anaknya jadi gembel dan melarat.

Sejak kecil aku dibiasakan untuk memilih. Misalnya, ketika aku ingin membeli barang. Ada lebih dari satu pilihan barang yang ingin kubeli. Tapi, Ibu hanya menyuruhku memilih salah satu. Bukan karena Ibu tak mampu membelikannya untukku. Ibuku punya alasan lain. Ia ingin agar aku belajar menentukan prioritas. Sebab, kata Ibu, tidak semua yang kita inginkan adalah yang kita butuhkan. Pun tidak semua yang kita inginkan, bisa kita dapatkan. Katanya lagi, hidup itu adalah sekumpulan pilihan. Makanya aku disuruh memilih. Ibu membiasakan aku berpikir dewasa. Aku nurut saja, aku pusing tidak mengerti, meskipun setelah itu bibirku manyun. Sebal karena tidak dituruti. Namanya juga anak-anak, kepingin segalanya.

Aku juga punya dua kakak laki-laki. Tapi nanti saja kuceritakannya. Kali ini aku mau tidur cepat, takut ketahuan Ibu. Nanti aku dimarahi kalau ketahuan begadang. Heuheuheu.
Oh iya, aku ini perempuan ya. Jangan ada yang mengira aku laki-laki. Awas saja!

Dini hari, 12 Maret 2015.

Happy Hawra