Obrol · November 9, 2015 13

Belajar Fiksi Dari Filosofi Kopi

Sumber gambar

Sebenarnya, berbicara tentang inspirasi itu luas sekali. Kita bisa mendapatkan inspirasi dari apapun dan siapapun, tanpa terkecuali. Bahkan dari hal-hal yang nggak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dan kalau ditanya soal buku yang menginspirasi, maka akan ada banyak sekali judul-judul yang bisa saya tulis. Sebab saya belajar banyak dari sebuah buku. Banyak sekali. Tentang hidup dan kehidupan. Tentang mencintai dan dicintai. Tentang memaafkan. Tentang berdamai. Tentang bertumbuh. Tentang segala pertentangan dan kebaikan. Saya yakin, bukan hanya saya yang pernah merasakannya.

Tapi, di sini saya ingin menuliskan ‘Tentang’ yang lain, yang belum saya sebutkan di atas. Yaitu menulis. Tentang menulis. Suatu hari, saya membaca sebuah buku berjudul “Filosofi Kopi”, hasil pinjam dari seseorang. Kalian tahu kan, siapa penulisnya? Bahkan mungkin kalian sudah hafal siapa saja aktor yang memainkan filmnya. Buku tersebut diterbitkan pada Tahun 2006. Saya sendiri pertama kali membacanya saat SMA, entah sudah cetakan keberapa waktu itu.

Apa yang saya sukai dari buku itu? Isinya? Tentu saja. Tapi, apa yang menjadi berbeda? Apa yang lebih ajaib dari sebuah isi buku?

Sihirnya.

Saya mencermati prosa-prosa yang Dee tulis di buku itu. Sebelumnya, saya nggak tahu kalau ada jenis tulisan seperti itu. Saya kira, menulis itu selalu tentang ‘menulis novel’. Karena jangankan membuat novel, menulis cerpen pun saya kesusahan. Yang biasa saya tulis sejak menyukai menulis adalah puisi. Saya menyukai puisi. Bahkan, sewaktu SMA, setiap kali ujian, dibandingkan mengerjakan soal, waktunya lebih banyak saya gunakan untuk menulis puisi atau tidur. Ya, saya menyukai puisi seperti saya menyukai tidur.

Di buku tersebut, berisi 18 tulisan satu dekadenya. Yang ia tulis dari tahun 1995-2005. Di dalamnya terdapat prosa-prosa lirik dan cerpen. Beberapa tulisan yang saya suka adalah ‘Spasi’, ‘Surat Yang Tak Pernah Sampai’, ‘Diam’, ‘Salju Gurun’, ‘Cetak Biru’, ‘Kunci Hati’ dan tentu saja ‘Filosofi Kopi’. Buat saya, yang waktu itu kurang optimis dengan yang namanya menulis. Ketika membaca tulisan-tulisan Dee, saya merasa tulisannya begitu ajaib dan memikat. Sepertinya, Dee memang punya kemampuan menyihir. Ada semangat baru yang kemudian lahir di dalam diri saya. Mungkin orang lain tidak, tapi saya merasakannya. Sampai-sampai, saya ingin sekali bisa menulis seperti Dee. Maka, mencobalah saya… belajar sihir. Tapi karena nggak menemukan sekolah sihir, saya nggak jadi belajar sihir. Saya belajar menulis saja. Belajar nulis-nulis prosa seperti Dee di blog. Biasanya, yang saya tulis—selain puisi– kebanyakan curhatan gaya abege yang sedang labil. Setelah mencoba sering-sering menulis prosa, saya akhirnya bisa (tetap) curhat, tapi dalam gaya yang berbeda. Lebih nggak blak-blakan dan terkesan ada fiksi yang hidup di tulisan saya. Betapa susahnya kan sebelumnya menulis fiksi itu. Lewat “Filosofi Kopi”, saya menikmati tulisan saya yang bertumbuh. Dan selanjutnya, dan selanjutnya

Selain “Filosofi Kopi”, nih. Saya juga jatuh cinta dan tersihir sama “Rectoverso”, “Perahu Kertas”, dan “Madre”. Kalau “Supernova”, baru satu buku yang dibaca.

Terimakasih Ibu Suri (:

November, 2015
Happy Hawra