Cerpen · Maret 6, 2016 18

Cerpen: Sebuah Buku dan Gelas Plastik di Hadapanmu

Tak ada yang lebih mengepungmu dari dangau sepi di rahim siang itu. Kamu duduk sendiri, di meja yang baru saja dilap kering dari basahnya minuman bekas-bekas pertemuan dua orang teman yang duduk di kursi sebelum kamu. Anggap saja mereka berteman, tentu kamu tidak mengenalnya, bukan?

Kamu mengambil buku di tas lusuh itu. Kata orang, kamu terlalu mencintai apa-apa yang telah melekat hebat di dalam dirimu. Seperti tas lusuh yang menahun menemanimu melakukan perjalanan mahaduka yang panjang. Padahal, mereka hanya tidak tahu, kamu tak mampu menggantinya dengan yang baru. Sama seperti sepatu dekil yang kamu gunakan kemana-mana. Barang-barang yang sudah cukup ketinggalan jaman. Jangankan membeli sepatu dan tas keluaran terbaru, membelinya di loakan pun rasanya sayang uang. Katamu, selama keduanya tak terlihat begitu usang dan berdebu, selama lubang-lubang sobekan hanyalah sekedar intipan, kamu masih cukup bisa menggunakannya. Tidak selamanya yang lusuh itu tak kuat beban, kan?

Kini, kamu mulai mengerontangkan kata-kata di dalam dadamu. Merapal setiap kalimat yang kamu baca di setiap halaman buku. Bagimu, kamu dan buku adalah dua jiwa yang saling berbagi soal sepi dan segala rutuk kejatuhan. Buku akan bernyawa selagi orang-orang membacanya, kamu akan lesap selagi buku-buku membawamu kepada dunianya.

Di ceruk masalalu kucari dirimu, sendu
dan rindu kucicip bersamaan, hingga aku
lupa betapa kamu semata benalu.

Di langkan senyap kutemukan diriku
mencemasi masa depan: benarkah kamu
yang akan mengada? — Khrisna Pabichara, Amnesia

Seakan-akan, kamu ingin sekali memeluk hampa. Seperti satu puisi yang baru saja selesai kamu baca. Adakah yang kamu nanti selain hanya membaca dan menunggu sirine kereta? Seseorang dari masalalu dengan rindu yang kerap kamu susun di taman musim. Sungguh, setiap kali kamu merumahkan ingatan, kenangan mengepungmu. Dan lagi-lagi kamu menjadi pengurai air mata paling bisu. Bertahun-tahun yang lalu, ada yang sengaja digeletakkan Tuhan, yang merupa sebagai rahasia kehilangan.

Belum lama, kamu memesan satu gelas jus jambu. Kini, perempuan muda yang menjadi pelayan kantin itu membawakannya di hadapanmu. Sebuah jus jambu dengan gelas plastik yang dingin, ditambah satu buah sedotan. Kamu cicipi benar-benar jus itu, meski kamu sudah sangat hafal bagaimana rasanya. Namun ada yang tak kamu temukan, jauh sebelum kamu mulai meminumnya sendirian. Seseorang yang kamu sebut sebagai pembawa cahaya sekaligus pembasuh luka. Seseorang yang membawamu mempelajari segala tualang untuk menjadi manusia sesungguhnya. Ia sering menyebutnya: dewasa. Seseorang yang sudah memakan garam lebih lama, yang di rambut hitamnya beberapa sudah mulai berubah warna.

Barangkali, kamu adalah perempuan paling kekanakan, dengan tunas-tunas gengsi yang juga menumbuhimu. Kamu selalu berharap apa yang kamu inginkan akan tiba dengan cepat, dan nyata. Di matamu, tidak ada angan-angan yang hidup sebagai fantasi semata. Kamu malu dengan persoalan meminta tolong dan mengucapkan maaf. Kamu lupa segala hal yang harusnya menjadi ucapan terimakasihmu kepada orang lain. Padahal kamu sendiri merasa, kalau kamu adalah makhluk paling tidak enakan sejagat raya. Kamu hanya tidak tahu cara mengucapkannya. Kamu hanya tidak tahu cara melakukannya. Meski kamu sangat ingin. Dan lalu, pelan-pelan si pembasuh luka mengajarimu.

Kamu menghisap butir-butir air di jus jambu. Tenggorokanmu telah lama kering mengenang semua yang muram. Jus itu kamu aduk pelan-pelan, sambil kamu mengamati lorong di dalam sedotan. Adakah sebuah lorong yang bisa membawa orang yang telah mati kembali lagi? Kamu bertanya dalam hati.

Mengapa, sejak kamu kehilangan seseorang, galaumu hanya di batas perkara tak punya uang? Bukan soal jatuh cinta paling mendebarkan atau karena pacar tak ada kabar. Sebab sejak itu, rasa takut kehilangan lagi menimpa pikiranmu.

Bagaimana bisa kamu belajar dewasa dan menghilangkan segala kecemasan di dadamu, tanpa ada cerita dari si pembasuh luka? Bagaimana bisa kamu mencintai, sedang hatimu kamu buat mati. Mengikuti ayahmu ke alam abadi. Padahal dulu, ayahmu pernah berkata, “Suatu hari nanti, posisi Ayah akan terganti dengan laki-laki yang lebih baik hati, yang suaranya lebih merdu, yang tutur katanya menyentuh hatimu. Dan kamu menjadi orang yang paling dicintainya. Mungkin tidak sebanding dengan cinta Ayah kepadamu, tapi dia adalah seorang yang akan menemanimu lebih lama. Yang bisa lebih sering menjagamu. Yang bisa lebih kuat melindungimu, daripada Ayah. Suatu hari nanti, kamu akan menjadi perempuan paling istimewa di hati laki-laki lain selain Ayah.”

“Jangan pernah takut patah hati,” tambah Ayah suatu hari.

Kamu, sekali lagi, hanya mampu mendendangkan luka. Kepada gurat buku, dan gelas plastik di hadapanmu.***