Buku · April 17, 2016 6

Perempuan dan Soal Keputusan

 

“Ada tiga hal yang harus bisa kita kuasai di dalam pasar, termasuk dalam menulis dan menerbitkan buku. Tiga hal itu adalah: Youth – Woman – Netizen,” ucap Fahd Pahdepie di tengah diskusi mengenai buku terbarunya yang berjudul ‘Jodoh’ di Pendopo Rumah Dunia, Serang.

Sewaktu melihat sebuah flyer yang menginformasikan bahwa akan ada acara bedah buku Fahd Pahdepie di Serang, tentu saja saya sangat antusias. Alasannya … Ya… kapan lagi gitu ya, liat Mas Fahd langsung. *Halah. Lagian nggak begitu sering juga di Serang kedatengan penulis-penulis bersinar kayak sunlight. Untuk itu, saya menekankan kepada diri saya sendiri kalau saya harus datang di acara tersebut.

Di flyer tersebut dituliskan bahwa Mas Fahd akan mendatangi dua tempat sekaligus dalam sehari. Paginya, bedah buku dan diskusi diadakan di Perpustakaan Daerah Provinsi Banten, dan sorenya diadakan di Rumah Dunia. Berhubung saya malas datang pagi-pagi karena mesti nyuci (yaelah, alasan yang tidak berkelas banget), jadi saya putuskan untuk datang di sore hari saja. Sekalian main ke RD juga sih karena sudah lama nggak datang ke sana.

Kesan pertama yang saya dapat dari melihat Mas Fahd secara langsung adalah suaranya. Menurut saya suaranya lucu. Dalam hal memperhatikan orang, saya memang salah satu yang suka memperhatikan di bagian suara, selain dari cara menulisnya. Kadang-kadang kita bisa menjadi begitu tertarik kepada orang hanya karena suaranya. Mungkin bagi sebagian orang lain tidak, tapi bagi saya seringnya iya. Tentu saja jadi lebih menarik kalau cara menyampaikan sesuatu kepada orang lainnya juga asyik. Ya, kan?

Di awal diskusi, Mas Fahd tidak menyampaikan ihwal mengenai jodoh dan cinta. Katanya, biarkan hal tersebut menjadi pemanis di belakang saja. Dunia tulis-menulis yang akan banyak dibahasnya dalam pertemuan singkat tersebut. Oh iya, kali itu, Mas Fahd tidak sendirian, ada seseorang yang nggak kalah rupawan dan menawan duduk di sampingnya. Beliau adalah editor dari novel ‘Jodoh’ itu sendiri, yaitu Adham T. Fusama.

“Anak muda, perempuan, dan media sosial adalah kunci di dalam pasar. Terutama perempuan.”

Hampir setiap orang–terutama anak muda– saat ini cenderung aktif di berbagai media sosial. Sehingga di dalam buku yang kita buat, perlu disisipkan kalimat-kalimat atau dialog-dialog yang sifatnya instagram-able, tweet-able, dan status-able. Itu bisa menambah ketertarikan orang lain untuk membaca buku kita. Sebab, kita tahu bahwa media sosial menjadi salah satu sarana promosi terbesar.

“Kalau kamu ingin memenangkan pertarungan pasar, berpikirlah tentang perempuan.”

Ada banyak sekali, penulis perempuan yang berbicara mengenai laki-laki. Namun sebaliknya di dalam ‘Jodoh’, Mas Fahd ingin menuliskan tentang perempuan dari sudut pandangnya sebagai laki-laki. Di dalam bisnis, perempuan banyak dijadikan sebagai sasaran utama. Di dalam buku, perempuan juga menjadi menarik untuk diangkat ke dalam sebuah cerita. Maka, Mas Fahd melakukannya.

“Karena semua yang serba perempuan itu laku,” beliau menambahkan.

Beliau pun mengatakan bahwa sebuah karya sastra haruslah relate dengan pembacanya. Sebagai penulis, kita perlu menuangkan emosi di dalam tulisan yang relate sama semua orang. Sehingga mereka bisa meresapi benar-benar dari apa yang kita tulis. Sehingga mereka juga merasa memiliki keterikatan yang kuat antara tokoh yang kita buat dengan diri mereka sendiri. Kadang-kadang, kita tidak perlu menuliskan kata “jatuh cinta” ketika kita sedang jatuh cinta atau menuliskan “patah hati” ketika sedang patah hati. Ubahlah dengan kata-kata yang lebih mempengaruhi emosi jiwa. Tanpa kita beritahu, dengan sendirinya mereka sudah akan menebak kalau tokoh tersebut sedang jatuh cinta atau patah hati.

“Penulis yang baik adalah penulis yang bisa menciptakan AHA! Moment. Maka, janganlah bicara begitu detail di dalam tulisan. Buat sedikit mengambang agar pembaca pun bisa berimajinasi.”

Di dalam ‘Jodoh’, Mas Fahd tidak menceritakan begitu detail bagaimana karakter Sena dan Keara. Karena bagi beliau, Sena dan Keara adalah pembaca itu sendiri. Biarkan pembaca yang berimajinasi tentang karakter keduanya.

Saya mengenal tulisan-tulisan Mas Fahd sejak namanya belum berganti menjadi Fahd Pahdepie. Barangkali saya agak sedikit penasaran kenapa beliau mengganti namanya dari Fahd Djibran menjadi Fahd Pahdepie. Ternyata, tanpa ditanya, beliau menjelaskan sedikit tentang namanya. Katanya, Fahd Djibran dan Fahd Pahdepie adalah penulis dengan karakter yang berbeda. Ketika menjadi Fahd Djibran, ia adalah penulis yang egois. Menulis sesukanya tanpa memikirkan perasaan pembaca. Sementara di dalam Fahd Pahdepie, ia belajar bagaimana menjadi penulis yang tidak egois. Ia bekerja dalam interior pikiran dan perasaan pembaca. Meski banyak yang bilang lebih suka gaya tulisan seorang Fahd Djibran, Mas Fahd tidak peduli. Ia hanya ingin memuaskan pembacanya. Beliau pun tidak takut meski harus kehilangan pembacanya terdahulu, karena nyatanya ia mendapatkan pembaca-pembaca baru yang hadir dan menyukainya dengan jumlah yang lebih banyak. Tidak diragukan, ‘Jodoh’ menjadi laku keras sampai cetakan kelima.

Pihak penerbit menggolongkan sebuah buku ke dalam empat kuadran.
Kuadran pertama: Buku yang bagus dan akan sangat laku; diterbitkan.
Kuadran kedua: Buku yang bagus, tapi sekiranya tidak begitu laku di pasaran; disimpan—setelah memiliki untung besar–baru kemudian diterbitkan.
Kuadran ketiga: Buku yang tidak bagus, tapi sekiranya menjadi sangat laku di pasaran; diterbitkan.
Kuadran keempat: Buku yang tidak bagus dan tidak laku; tidak diterbitkan.

Buku yang bagus dan tidak bagus, serta buku yang laku dan tidak laku, semuanya bergantung kepada si penulis dalam usahanya menarik pembaca. Sehingga, attitude seorang penulislah yang menjadi penting. Karena menulis atau penulis adalah pekerjaan yang punya reputasi. Beliau pun menambahkan bahwa jangan pernah memiliki pretensi untuk menggurui pembaca. Karena pembaca tidak akan menyukainya.

Terakhir, beliau bicara soal cinta dan jodoh. Ia sendiri tidak tahu apa definisi jodoh sebenarnya, pun siapa jodoh kita. Di dalam ‘Jodoh’ ia hanya menggambarkan dua tokoh yang menghadirkan cinta murni tanpa kalkulasi. Cinta yang membuat kita bahagia. Bukan cinta yang memberikan kepuasan semata. Diceritakan bahwa seorang Sena jatuh cinta sejak SD kepada Keara, bahkan sampai ia dewasa. Apakah itu mungkin? Baginya, itu mungkin saja. Sadar ataupun tidak, setiap yang kita lakukan dialirkan oleh serangkaian sebab-akibat dan keputusan. Dan pada akhirnya, jodoh adalah soal keputusan. Barangkali Mas Fahd menuangkan hal tersebut ke dalam dialog antara Sena dan Keara ini:

“Takdir barangkali juga bekerja dengan cara semacam itu. Tuhan menyiapkan kemungkinan-kemungkinan dengan hukum sebab-akibat. Jika kamu melemparkan batu ke udara, batu itu akan jatuh karena hukum gravitasi. Agama menyebutnya sunatullah. Tetapi, bagaimana gayamu melemparkan batu itu atau di mana batu itu mendarat, ada banyak kemungkinan tentangnya dan barangkali kamu bisa memilih dan menentukannya. Masuk akal, kan?” (Hal. 183)

“Tentang takdir, mungkin Tuhan menyiapkan titik-titik peristiwa dengan jumlah kemungkinan yang tak terbatas itu. Lalu kita menentukan ke titik mana kita bergerak, ke titik-titik mana kita melanjutkan konsekuensi dari skenario yang kita pilih di titik takdir sebelumnya. Kita menyebut apa-apa yang sudah kita pilih, apa-apa yang sudah kita alami, sebagai nasib.” (Hal. 183)

Baca juga, ‘Jodoh (?)’