Prangko · Maret 2, 2020 3

Perihal Menjadi Bahagia

2020 sudah memasuki bulan ketiga. Kok, ya, waktu berjalan terlalu bertenaga, sampai-sampai hari ke hari, bulan ke bulan, terus berganti tak terasa.

Saya ingat sekali suatu hari di bulan Januari. Satu hal yang sudah saya prediksi sejak lama itu benar-benar terjadi. Sering saya berpikir bahwa saya akan bisa mengatasinya, tapi ternyata, saat hari itu tiba, tetap saja tak bisa menghindar dari air mata.

Saya menangis, walau masih bisa bercanda. Meski saat itu hanya berdua dengan Bapak, saya tidak bisa banyak bicara ketika diberondong sejumlah tanya. Yang muncul di benak saya bukanlah jawaban, melainkan pertanyaan lain tentang mengapa perjalanan Tol Serang Timur-Serang Barat terasa sangat panjang.

“Cerita kalau butuh apa-apa, jangan dipendam sendiri semuanya.”

Sempurna. Kalimat terakhir dari Bapak hari itu membuat saya tak berani menatap mata saat berpamitan dengannya.

Setelahnya, saya berusaha untuk bersikap biasa. Sebab jika pergi atau bahkan melarikan diri hanya akan menambah kekhawatiran Bapak. Namun saya seperti tidak diberi waktu lama. Beberapa hari kemudian, saya dihadapkan kembali pada kondisi yang sama—tetapi jauh lebih “menyeramkan” dari sebelumnya.

Saya dipanggil ke sebuah ruangan dengan dikelilingi empat orang. Saya sudah curiga ini bukan soal pekerjaan semata. Kau tahu rasanya menjadi terdakwa? Semua mata tertuju pada satu nama. Saya. Bedanya, kondisi yang satu ini tidak membicarakan perihal dosa. Hanya agar membuat saya lebih terbuka, tanpa menyimpan rahasia, apa lagi luka. Kondisi ini sangat membebani seseorang yang teramat banyak bercanda seperti saya.

Seorang yang saya hormati setelah Bapak memulai bicaranya. Saya mendengar dengan seksama, menundukkan kepala, hingga tak terasa banjir sudah air mata. Saya masih tidak bicara, sementara yang lain satu per satu mengungkapkan perasaannya, kepeduliannya dengan saya—yang juga dibarengi dengan hujan air mata.

“Kamu sudah saya anggap seperti adik sendiri. Kesedihan kamu adalah beban moril untuk saya.”

“Aku diam bukan karena enggak peduli, tapi enggak mau bikin kamu tambah sedih.”

“Aku siap 24 jam untuk kamu.”

“Kamu jangan curang. Kamu selalu antusias dan bahagia merayakan momen-momen penting di hidup orang lain. Sekarang, kasih kesempatan kita buat bahagia merayakan momen penting di hidup kamu. Paling tidak, lakukan ini untuk membahagiakan Bapak. Kebahagiaan Bapak sekarang adalah melihat kamu bahagia.”

Hari itu, saya benar-benar merasa gagal menjadi manusia. Hidup saya seperti yang paling merepotkan sedunia. Namun di waktu yang sama, saya tahu bahwa hidup yang saya punya teramat sangat berharga, bahkan untuk orang-orang di luar sana. Saya harus bahagia untuk membahagiakan orang lain juga.

3 Maret 2020