Prangko · April 29, 2020 10

Satu Hari di Bulan Maret

Sebuah kalimat yang kutulis dua tahun lalu mengantarkanku pada kenyataan: bahwa harapan bisa terwujud kapan saja, meski telah lama hanya dikenang sebagai cerita.

Aku agaknya menyangsikan bisa tiba-tiba bertemu denganmu di sebuah mall yang ramai. Namun, kesempatan adalah kesempatan. Melewatkannya justru hanya akan melahirkan penderitaan berkepanjangan. Menyesal, tidak karuan, tahu-tahu bertambah berat badan.

Jangan tanya seperti apa detak jantungku saat tahu kalau kamu juga ada di situ. Kapan pulang? Apakah hanya liburan lalu kembali terbang? Rentetan pertanyaan yang menunjukkan betapa kagetnya aku lantaran bisa berada di satu atap yang sama tanpa rencana sebelumnya.

Kayaknya ada yang deg-degan. Beneran ada di atas lho ini. Mau disamperin enggak? Apa nunggu mereka ke sini aja?”

“Pulang aja gimana?”

“Yakin? Entar nyesel, lho.”

Betapa pun memasang tampang kalem, sepertinya kali ini aku tidak bisa menyembunyikan debaran. Terlampau lama menahan. Dan, ya… nyatanya aku masih sebergempa ini jika bersangkutan dengan seseorang yang terus berada di dalam ingatan.

“Kayak remaja banget, sih,” sebut seorang teman.

“Tapi gemes, deh,” tambah yang lain.

Bukan malah menenangkan, kedua teman lamaku itu terus menggoda habis-habisan. Sementara, sang suami cuma ikut cengegesan, kemudian lanjut makan.

“Ayo, kapan lagi? Siapa tahu pertemuan ini jadi gerbang pembuka hubungan kamu sama dia. Siapa yang tahu, kan?” Gelora semangat yang mereka tuang justru membuatku semakin kehilangan keyakinan.

Lalu tiba-tiba saja, kamu sudah mendadak ada di depan mata.

Tidak bisa, ya, kasih aku waktu untuk menata jantungku dulu?

Aku cukup pintar untuk bersikap biasa saja. Namun ingatanku seketika kembali ke dua tahun lalu. Agaknya aku tidak ingin menyesal seperti waktu itu, yang melihatmu saja tidak mampu. Padahal akan berada dalam jarak yang amat sangat jauh. Aku takut setelah ini pun akan juga begitu. Maka melontarkan beberapa pertanyaan dengan santai nampaknya jauh lebih melegakan.

Lalu aku tahu, kamu tengah meranggas mimpi-mimpu yang baru. Mengetahui kabar itu amat membahagiakan bagiku. Sama seperti yang pernah kutulis dahulu, aku tidak tahu bagaimana menjadi matahari, tetapi akan selalu mendoakan perjalananmu lancar sampai nanti. Begitulah caraku mengakhiri pertemuan dalam satu episode pendek itu.

Namun…

Keberuntungan rupanya masih mau menghampiriku. Kamu, lagi-lagi mendadak lewat di depan mata saat aku dan tim kerjaku tengah menggarap sebuah project video sepulang pertemuan satu jam lalu.

Begitu refleks aku memanggil namamu. Alih-alih membuatmu menoleh, malah menimbulkan tatapan curiga dari teman-teman di sampingku saat itu.

“Kayaknya kita harus cari tahu orang itu.”

Mati aku.